Ada sebersit rasa kagum dan bangga saat saya melihat video VOA terbitan Rabu,19/9/2012 yang meliput kegiatan Andik Vermansyah ketika berlatih di salah satu klub sepakbola besar di Amerika Serikat, DC United. Mengingat klub tersebut merupakan klub yang dihuni oleh dua bintang besar yaitu David Beckham dan Landon Donovan, ditambah lagi dengan nilai positif yang diberikan oleh pelatih DC United kala melihat permainan Andik disana, rasa kagum saya menjadi semakin besar. Ternyata di tengah kisruhnya dunia persepakbolaan Indonesia masih terdapat talenta yang mampu bersinar dan sudah selayaknya mendapat perhatian. Jika anda kesulitan mencari videonya, dibawah ini saya sertakan sebagai referensi.
Tetapi seiring rasa kagum yang membesar terselip pertanyaan yang mungkin ada di kepala banyak orang selain saya yaitu : " Jika negara ini mempunyai banyak talenta, kemana perginya hegemoni sepakbola Indonesia ?". Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan klasik yang hingga kini belum ditemukan jawabannya.
Jika bicara mengenai talenta dari segi individu, Indonesia tak pernah kekurangan. Selain Andik masih banyak lagi pemain yang sesungguhnya mampu bersinar terang. Jikapun parameternya adalah pernah bermain di klub luar negeri, sebelum Andik sudah ada beberapa nama yang duluan mencicipi sepakbola luar negeri.
Satu generasi dengan Andik misalnya, ada Titus Bonai yang hampir saja dikontrak klub elit Thailand BEC Tero Sasana jika tidak bermasalah dengan birokrasi PSSI. Lalu ada seniornya seperti Bambang Pamungkas, Elie Aiboy, Kurniawan DY, Bima Sakti, hingga Rocky Putiray yang membawa nama Indonesia di klub luar negerinya masing-masing. Bahkan mundur jauh ke pertengahan era 90an, ada Kurnia Sandi yang mampu menembus skuad utama salah satu tim kuat Italia, Sampdoria dan bermain langsung dengan beberapa pemain besar seperti Sinisa Mihajlovic, Juan Sebastian Veron, dan Roberto Mancini dibawah arahan langsung dari pelatih hebat dunia, Sven Goran Eriksson.
Kembali lagi ke masa kini talenta-talenta penuh bakat seakan tak pernah habis, terakhir ada Eriyanto, seorang pemuda berusia 14 tahun yang meraih penghargaan The Best Captain pada turnamen yang diselenggarakan oleh klub raksasa Italia, AC Milan, yaitu Milan Junior Camp Day di San Siro, Milan. Tak sebatas itu saja, saya yakin sesungguhnya masih banyak bakat terpendam yang sedang menunggu saat yang tepat untuk muncul ke permukaan, meramaikan jagad sepakbola Indonesia.
Namun ironisnya, ditengah kerumunan talenta hebat yang siap bertempur untuk mengharumkan nama Indonesia tersebut, apa kita pernah sekali saja melihat Indonesia mengangkat piala ? Sayangnya belum. Ya, kita semua tahu bahwa Indonesia memang belum pernah mengangkat piala bahkan di tingkat ASEAN sekalipun. Prestasi tertinggi hanyalah 3 kali Runner Up di ajang piala Tiger ( sekarang piala AFF). Hal itu saja sudah mampu untuk membuktikan bahwa talenta saja belum cukup untuk membesarkan nama Indonesia. Masih banyak sekali hal yang perlu dibenahi, mulai dari tingkat organisasi hingga ke tingkat paling dasar, individu.
Euforia yang berlebihan dan terlalu cepat merasa hebat.
Masih ingat tatkala piala AFF 2010 digelar di Indonesia ? Berbekal hasil sempurna dari babak kualifikasi, Indonesia mampu menjejak final untuk menghadapi Malaysia. Harus diakui permainan Timnas memang bagus saat itu, namun entah kenapa saya merasa semua orang sudah merasa menang padahal perjalanan masih panjang. Nama Irfan Bachdim langsung meledak menjadi bahan perbincangan, para pemain Timnas pun mendadak menjadi bintang iklan mulai dari sepatu, shampoo, hingga minuman penambah stamina. Mungkin semuanya sudah terjadwal dengan baik, namun saya merasa pihak yang terlibat sepertinya terlalu jumawa hingga membuat mereka lupa akan piala yang menjadi tujuan mengikuti kompetisi, hingga akhirnya Timnas harus kalah dari Malaysia dan kembali gagal mengangkat piala.
Setelah itu, perlahan-lahan gaung yang tadi bergema sedemikian kuat beralih samar-samar hingga akhirnya sekarang tak terdengar seperti dulu lagi. Inilah yang saya maksud sebagai euforia berlebihan dan terlalu cepat merasa hebat. Saya sangat menghargai semangat setiap orang yang menggebu-gebu mendukung Timnas dan tidak pernah menyalahkan hal tersebut. Yang saya salahkan adalah sifat cepat besar kepala yang timbul dari besarnya dukungan tersebut, sehingga hanya menimbulkan perasaan sombong dan hebat tanpa memerhatikan lagi pencapaian prestasi.
Setelah itu, perlahan-lahan gaung yang tadi bergema sedemikian kuat beralih samar-samar hingga akhirnya sekarang tak terdengar seperti dulu lagi. Inilah yang saya maksud sebagai euforia berlebihan dan terlalu cepat merasa hebat. Saya sangat menghargai semangat setiap orang yang menggebu-gebu mendukung Timnas dan tidak pernah menyalahkan hal tersebut. Yang saya salahkan adalah sifat cepat besar kepala yang timbul dari besarnya dukungan tersebut, sehingga hanya menimbulkan perasaan sombong dan hebat tanpa memerhatikan lagi pencapaian prestasi.
Terperangkap dalam tujuan yang membingungkan.
Kita tahu bahwa sejak awal tahun 2000 dunia sepakbola Indonesia sudah menjelma menjadi sebuah industri besar yang menjanjikan dua hal utama, yaitu Uang dan Popularitas. Setiap orang pun rela saling sikut demi mencapai dua hal tersebut. Maka tak heran jika kisruh dan kontroversi selalu ada membayangi hingga ke tingkat organisasi kepengurusan PSSI.
Saya yakin setiap individu mempunyai jiwa nasionalisme yang kuat dalam diri masing-masing untuk bertekad menjadikan sepakbola Indonesia lebih baik. Namun mengingat berbagai godaan yang ada membuat tujuan tersebut menjadi bias dalam perjalanannya.
Beberapa dari pemain sepakbola Indonesia sudah berubah menjadi selebritas. Ada yang berpacaran dengan artis, ada juga yang bermain film. Hal ini secara tidak langsung turut mempengaruhi tujuan setiap orang dalam memandang profesi sebagai seorang pemain sepakbola. Siapa yang tidak ingin terkenal dan punya pacar artis, atau ingin punya uang banyak dan bisa jalan-jalan menonton pertandingan sepakbola diluar negeri ? Setiap pemain yang awalnya bermain murni untuk membela tanah air lambat laun akan ikut terprovokasi dalam perubahan pola pikirnya. Mengambil contoh dari klub besar Inggris, Manchester United, Sir Alex Ferguson bahkan tega membuang pemain sekaliber David Beckham dan Cristiano Ronaldo dikarenakan gaya hidup bak selebritas mereka sydah dianggap berlebihan dan ditakuti akan membawa pengaruh buruk kepada rekan-rekan kerjanya.
Jika itu dari segi pemain, begitupun yang terjadi pada bagian kepengurusan tertinggi sepakbola Indonesia, PSSI. Dana ratusan miliar per tahun beserta kekuasaan yang ditawarkan, membuat konflik yang kini berujung dualisme kepemimpinan tak kunjung mereda. Bahkan kabar terakhir yang beredar di media massa, akan ada pertandingan antara dua Timnas, Timnas versi PSSI dan Timnas versi KPSI.
Wahhh !!! Ada apa ini ??? Setahu saya mereka masih membawa satu nama, satu bahasa, dan satu bendera. Lalu apa tujuan dari pertandingan ini ? Sekedar adu kekuasaan atau ingin menaikkan pamor semu di mata orang banyak. Pertandingan ini tak ubahnya seperti perang saudara kecil yang terjadi dalam dunia sepakbola Indonesia.
Saya tidak ingin menyoroti penyebab beserta kompleksitas yang memancing timbulnya kisruh tersebut , karena saya rasa kita semua sudah tahu secara garis besar. Oleh karena itu saya hanya ingin mempertanyakan hal paling dasar yaitu apa yang menjadi tujuan utama setiap individu ketika mereka memutuskan terjun ke dalam dunia sepakbola Indonesia ? Ingin memajukan sepakbola Indonesia atau sekedar mencari uang dan popularitas ?
Sudahlah, sekarang piala AFF 2012 sudah akan dimulai, semoga saja sifat dan pola pikir yang merusak diri dan organisasi tidak akan terulang kembali, sehingga kali ini Timnas Indonesia bisa menjadi yang terbaik. Setiap individu yang terlibat seharusnya sadar akan tujuan utamanya karena untuk mengangkat piala tak cukup hanya dengan talenta.

ya, makin miris memang liat persepakbolaan indonesia. apalagi dualisme yg gak kunjung slesai, sampai makan korban, salah satunya Diego Mendieta.
BalasHapuskunjungi blogku, bro www.ceritabc.blogspot.com :)